Banyak Versi, Mana yang Asli ?

Sabtu, 24 Maret 2012






Bila Raja Teluk Patipi XVI yakin Islam masuk tahun 1200-an, tidak demikian dengan Daeng Said. Keturunan Daeng Umar, menantu Raja Wertuer I, ini memprediksi Islam ada sekitar tahun 1500-an. Saat itu di sekitar Patumburak Islam sudah mulai berkembang. Ayah Daeng Umar adalah dai yang datang dari Bugis, Sulawesi Selatan. Umarlah yang membangun Masjid Patimburak, bersama dua ulama lainnya. 

Ia yakin dengan tahun itu, karena ia menghitung dari silsilah keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi sebagian raja Papua, adalah tabu untuk mengetahui silsilah keluarganya. Namun tidak bagi Daeng Said. 
Versi masuknya Islam di Papua sangat beragam. Jika Anda datang ke suatu petuaan raja – di Fakfak ada sekitar 12 raja dan semuanya Muslim – Anda akan menemukan 12 versi masuknya Islam. 
Itu sebabnya Pemerintah Kabupaten Fakfak berinsiatif membentuk Tim Sumber Data dan Fakta Sejarah Masuknya Islam di Papua yang dikoordinasi oleh Bappeda setempat. Tim ini sudah mulai bekerja sejak tahun 2006. Sebelumnya lembaga lain, ICMI Orwil Irian Jaya, jauh sebelumnya telah melakukan hal ini, yaitu tahun 2004.

Penelitian tim ini paling tidak telah menarik benang merah dari Dokumen Perjalanan Utusan Belanda ketika menelusuri Pantai Selatan Kepala Burung dalam Periode 1828-1898. Menurut ketua tim, Drs H Ahmad Musa’ad SH MH, ada tiga cacatan penting dalam dokumen itu, yaitu bahwa masyarakat di Kawasan Pantai Selatan kepala Burung Pulau Besar itu telah memiliki sistem pemerintahan lokal; masyarakat di kawasan ini telah memiliki tingkat peradaban modern, seperti pengetahuan, system ekonomi dan perdagangan; serta masyarakat di kawasan ini mayoritas berkebudayaan Islam.
“Persoalan selanjutnya adalah apakah penyebaran Islam di kawasan ini telah ada sebelum tahun 1828?” ujarnya. 
Berangkat dari data itu, timnya diterjunkan ke 17 lokasi yang tersebar di tiga kabupaten di Papua Barat, masing-masing Fakfak, Teluk Bintuni, dan Kaimana. Fakta yang harus dianggap penting adalah kehadiran musafir Abdul Ghafar di Fatagar Lama pada tahun 1360 M dan juga disusul dengan Siti Masita dan Pedagang Bugis-Bone sekitar 1502 M. Dalam dokumen Negarakartagama di masa Raja Hayam Wuruk Kerajaan Majapihit, jazirah Onin telah tertulis dalam kitab tersebut dengan sebutan kata Ewanim dan Sran untuk sebutan teluk Beraur/Bintuni. 
Kehadiran Islam di Adijaya pada tahun 1420, juga diduga memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan Islam di Tunas Gain. “Ade Aria Way yang telah memeluk Islam di tahun tersebut telah mengganti nama menjadi Samay,” tambahnya. 
Satu lagi yang dianggap penting: Islam masuk di Teluk Beraur pada tahun 1618 oleh Sultan Iskandar Muda dari Tidore, juga dalam periode 1746 – 1832 oleh Raja Namatota dan Raja Komisi dengan tujuan mempertatankan nasionalisme lokal atas intervensi asing, tetapi juga dalam rangka rekonstruksi sosial atas pembagian kampung terkait dengan penyebaran agama Islam dan Nasrani. 
Dari fakta-fakta itu, disimpulkanlah bahwa kehadiran mubaligh Abdul Ghaffar asal Aceh di Fatagar Lama, Kampung Rumbati, Fakfaklah sebagai tempat kedatangan Islam pertama kali. Tanggal persisinya diduga 8 Agustus 1360, berdasar tradisi lisan yang disampaikan Muhammad Sidik Bauw, anak bungsu Raja Rumbati XVI. 
Keyakinan yang sama juga dipegang tokoh masyarakat Papua, Ya’quub Bauw, setelah mempelajari banyak literatur lama yang menyebut pada abad ke-16 Islam sudah ada di Jazirah Onin (sekarang disebut Fakfak). “Setelah itu baru menyebar ke Kokas, Kaimana, Namatota, dan Kepulauan Raja Ampat (Sailof Salawati dan Misol) pada akhir abad ke-16 dan Teluk Bintuni abad ke-17,” ujar Pendiri Yayasan Ibnu Batuthah yang aktif berdakwah di Papua. 
Namun menurut Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Yapis Papua, Toni Victor M Wanggai MA, fakta itu tidaklah cukup. “Perlu dilacak dan dianalisa dari berbagai sumber-sumber teks primer tentang sejarah masuknya Portugis dan Spanyol,” katanya. 
Selain itu, kata dia, ada beberapa sumber teks dari Kerajaan Majapahit yang menguatkan argumentasi Islam telah ada di Papua sekitar abad ke-14 dan 15. Seperti dikutip FC Kamma, seorang misionaris terkenal, yang menyebut pada masa-masa itu banyak raja-raja kecil di wilayah “surga”-nya budak dan buah pala itu yang bersama Ternate dan Tidore beralih masuk Islam. 
Fakta lain berupa living monument juga tidak bisa dianggap remeh. “Misalnya makan Islam kuno di Desa Saonek, Lapintol, dan Beo di Distrik Waigeo, Raja Ampat dan teks-teks lama yang ditemukan di beberapa masjid kuno,” ujarnya yang tengah menyusun disertasi tentang rekonstruksi sejarah umat Islam di Papua. Memang tidak berangka tahun, namun merupakan saksi sejarah yang tak bisa dianggap remeh. 
Dalam seminar tentang masuknya Islam di Papua yang diselenggarakan berbarengan dengan Musabaqah Tilawatil Quran se-Papua Barat, Rabu (23/4), Tim Sumber Data dan Fakta Sejarah Masuknya Islam di Papua menyimpulkan bahwa banyak pintu masuknya Islam di Papua dengan kurun waktu berbeda pula. Empat rekomendasi yang disimpulkan tim itu tentang masuknya Islam di Papua Barat bagian selatan: tahun 1360, 1420, 1608, dan tahun 1618. 
Sejarah Islam di Papua masih belum utuh betul. Serpihan-serpihan itu masih terus dikumpulkan. Namun ada satu catatan yang tidak pernah dituliskan: bahwa tak pernah ada konflik berlatar agama di Bumi Cendrawasih itu. Meski berbeda keyakinan, para raja dan suku di Papua Barat hidup berdampingan selama berabad-abad.

0 komentar:

Posting Komentar