Bila
Raja Teluk Patipi XVI yakin Islam masuk tahun 1200-an, tidak demikian
dengan Daeng Said. Keturunan Daeng Umar, menantu Raja Wertuer I, ini
memprediksi Islam ada sekitar tahun 1500-an. Saat itu di sekitar
Patumburak Islam sudah mulai berkembang. Ayah Daeng Umar adalah dai yang
datang dari Bugis, Sulawesi Selatan. Umarlah yang membangun Masjid
Patimburak, bersama dua ulama lainnya.
Ia
yakin dengan tahun itu, karena ia menghitung dari silsilah keluarga
yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi sebagian raja Papua, adalah
tabu untuk mengetahui silsilah keluarganya. Namun tidak bagi Daeng
Said.
Versi
masuknya Islam di Papua sangat beragam. Jika Anda datang ke suatu
petuaan raja – di Fakfak ada sekitar 12 raja dan semuanya Muslim – Anda
akan menemukan 12 versi masuknya Islam.
Itu
sebabnya Pemerintah Kabupaten Fakfak berinsiatif membentuk Tim Sumber
Data dan Fakta Sejarah Masuknya Islam di Papua yang dikoordinasi oleh
Bappeda setempat. Tim ini sudah mulai bekerja sejak tahun 2006.
Sebelumnya lembaga lain, ICMI Orwil Irian Jaya, jauh sebelumnya telah
melakukan hal ini, yaitu tahun 2004.
Penelitian
tim ini paling tidak telah menarik benang merah dari Dokumen Perjalanan
Utusan Belanda ketika menelusuri Pantai Selatan Kepala Burung dalam
Periode 1828-1898. Menurut ketua tim, Drs H Ahmad Musa’ad SH MH, ada
tiga cacatan penting dalam dokumen itu, yaitu bahwa masyarakat di
Kawasan Pantai Selatan kepala Burung Pulau Besar itu telah memiliki
sistem pemerintahan lokal; masyarakat di kawasan ini telah memiliki
tingkat peradaban modern, seperti pengetahuan, system ekonomi dan
perdagangan; serta masyarakat di kawasan ini mayoritas berkebudayaan
Islam.
“Persoalan selanjutnya adalah apakah penyebaran Islam di kawasan ini telah ada sebelum tahun 1828?” ujarnya.
Berangkat
dari data itu, timnya diterjunkan ke 17 lokasi yang tersebar di tiga
kabupaten di Papua Barat, masing-masing Fakfak, Teluk Bintuni, dan
Kaimana. Fakta yang harus dianggap penting adalah kehadiran musafir
Abdul Ghafar di Fatagar Lama pada tahun 1360 M dan juga disusul dengan
Siti Masita dan Pedagang Bugis-Bone sekitar 1502 M. Dalam dokumen
Negarakartagama di masa Raja Hayam Wuruk Kerajaan Majapihit, jazirah
Onin telah tertulis dalam kitab tersebut dengan sebutan kata Ewanim dan
Sran untuk sebutan teluk Beraur/Bintuni.
Kehadiran
Islam di Adijaya pada tahun 1420, juga diduga memiliki hubungan yang
sangat erat dengan keberadaan Islam di Tunas Gain. “Ade Aria Way yang
telah memeluk Islam di tahun tersebut telah mengganti nama menjadi
Samay,” tambahnya.
Satu
lagi yang dianggap penting: Islam masuk di Teluk Beraur pada tahun 1618
oleh Sultan Iskandar Muda dari Tidore, juga dalam periode 1746 – 1832
oleh Raja Namatota dan Raja Komisi dengan tujuan mempertatankan
nasionalisme lokal atas intervensi asing, tetapi juga dalam rangka
rekonstruksi sosial atas pembagian kampung terkait dengan penyebaran
agama Islam dan Nasrani.
Dari
fakta-fakta itu, disimpulkanlah bahwa kehadiran mubaligh Abdul Ghaffar
asal Aceh di Fatagar Lama, Kampung Rumbati, Fakfaklah sebagai tempat
kedatangan Islam pertama kali. Tanggal persisinya diduga 8 Agustus 1360,
berdasar tradisi lisan yang disampaikan Muhammad Sidik Bauw, anak
bungsu Raja Rumbati XVI.
Keyakinan
yang sama juga dipegang tokoh masyarakat Papua, Ya’quub Bauw, setelah
mempelajari banyak literatur lama yang menyebut pada abad ke-16 Islam
sudah ada di Jazirah Onin (sekarang disebut Fakfak). “Setelah itu baru
menyebar ke Kokas, Kaimana, Namatota, dan Kepulauan Raja Ampat (Sailof
Salawati dan Misol) pada akhir abad ke-16 dan Teluk Bintuni abad ke-17,”
ujar Pendiri Yayasan Ibnu Batuthah yang aktif berdakwah di Papua.
Namun
menurut Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Yapis Papua, Toni Victor
M Wanggai MA, fakta itu tidaklah cukup. “Perlu dilacak dan dianalisa
dari berbagai sumber-sumber teks primer tentang sejarah masuknya
Portugis dan Spanyol,” katanya.
Selain
itu, kata dia, ada beberapa sumber teks dari Kerajaan Majapahit yang
menguatkan argumentasi Islam telah ada di Papua sekitar abad ke-14 dan
15. Seperti dikutip FC Kamma, seorang misionaris terkenal, yang menyebut
pada masa-masa itu banyak raja-raja kecil di wilayah “surga”-nya budak
dan buah pala itu yang bersama Ternate dan Tidore beralih masuk Islam.
Fakta lain berupa living monument
juga tidak bisa dianggap remeh. “Misalnya makan Islam kuno di Desa
Saonek, Lapintol, dan Beo di Distrik Waigeo, Raja Ampat dan teks-teks
lama yang ditemukan di beberapa masjid kuno,” ujarnya yang tengah
menyusun disertasi tentang rekonstruksi sejarah umat Islam di Papua.
Memang tidak berangka tahun, namun merupakan saksi sejarah yang tak bisa
dianggap remeh.
Dalam
seminar tentang masuknya Islam di Papua yang diselenggarakan
berbarengan dengan Musabaqah Tilawatil Quran se-Papua Barat, Rabu
(23/4), Tim Sumber Data dan Fakta Sejarah Masuknya Islam di Papua
menyimpulkan bahwa banyak pintu masuknya Islam di Papua dengan kurun
waktu berbeda pula. Empat rekomendasi yang disimpulkan tim itu tentang
masuknya Islam di Papua Barat bagian selatan: tahun 1360, 1420, 1608,
dan tahun 1618.
Sejarah
Islam di Papua masih belum utuh betul. Serpihan-serpihan itu masih
terus dikumpulkan. Namun ada satu catatan yang tidak pernah dituliskan:
bahwa tak pernah ada konflik berlatar agama di Bumi Cendrawasih itu.
Meski berbeda keyakinan, para raja dan suku di Papua Barat hidup
berdampingan selama berabad-abad.
0 komentar:
Posting Komentar