Satu Tungku Tiga Batu

Sabtu, 24 Maret 2012





Dalam keluarga Iba, ada tiga nama; Francisca Iba, Akhmad Iba, dan Moi Iba. Mereka adik, kakak, dan kemenakan. Agama mereka berbeda pula. Francisca beragama Katholik, Moi Protestan, dan Akhmad baru beberapa tahun ini menjadi penganut Islam. 
Akhmad menemukan damai Islam setelah tanpa sengaja menguping ceramah seorang dai Papua. Ia merenungkan kata-katanya tentang tauhid. Sejak itu ia makin rajin mencari. Tekadnya makin bulat ketika di Manokwari ia mendengar ada seorang pendeta yang disegani berpindah agama menjadi Muslim. “Saya mantap memilih Islam,” ujarnya. 
Bagaimana dengan keluarganya? Tak ada pertentangan. Ia hanya memberitahu kerabatnya bahwa dia akan menjadi Muslim. Semua mengangguk. “Kita satu keluarga. Agama berbeda tapi kita satu keluarga,” ujarnya, menirukan ayahnya.

Dalam masyarakat Fakfak tempat dia tinggal, tak ada pertentangan menyangkut keyakinan. Semua agama hidup berdampingan dalam harmoni. Mereka saling membantu pendirian rumah ibadah agama yang berbeda. “Kita pernah mengusir seorang dari selatan yang pernah mencoba rusuh di kampung kami,” ujar Tibi, warga Torea, yang dijumpai saat tengah menunggu penyambutan para qori asal Kabupaten Raja Ampat. 
Menurut Tibi, ada istilah adat yang menyatukan seluruh komponen agama di Fakfak, yaitu ‘satu tungku tiga batu’. “Yang artinya, agama keluarga di Fakfak ada tiga yaitu Islam, Katolik, dan Protestan. Tiga ‘batu’ ini bersatu agar ‘tungku’ tidak timpang,” ujarnya. 
Satu tungku tiga batu, diakui Bupati Fakfak, Wahidin Puarada, adalah salah satu modal utama membangun Fakfak. “Dalam falsafah itu ada unsur-unsur yang disepakati, yaitu sebagai satu saudara maka harus satu hati,” ujarnya. Bila hati sudah bersatu, kata dia, tak ada kekuatan apapun yang mampu melawannya. 
Ia menggambarkan “persatuan hati” itu dalam perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran se-Provinsi Papua Barat pekan ini. Semua unsur agama terlibat dalam kepanitiaan. “Ketika tidak diajak, mereka justru mempertanyakan dan menawarkan dirinya untuk membantu,” tambahnya. 
Bila di beberapa wilayah Indonesia lainnya agama dipakai sebagai alat untuk mengadu domba, tidak demikian di Fakfak. “Kami memilih agama tanpa unsur paksaan dan kami saling menghormati pilihan masing-masing. Itu hal yang tidak bisa ditawar sejak zaman nenek moyang kami,” ujar Wahidin. 
Menurut Askar Kadir, pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah Fakfak, tak ada yang salah dengan falsafah itu. Ia sendiri mengaku sangat menghormati semboyan itu. Hanya saja, katanya, aplikasinya sering kebablasan. “Sekadar untuk hubungan antar sesama manusia tidak masalah, asal jangan masuk ke area ubudiyah,” ujarnya. 
Misalnya saja, tak masalah seorang Muslim mendukung pembangunan rumah ibadah agama lain atau turut bekerja bakti membersihkan kampung bersama-sama umat agama lain. “Namun ketika ada perayaan Natal bersama di gereja, hendaknya umat Islam tidak turut serta,” ujarnya. 
Pendapat lain disampaikan Mariam Suli, seorang warga. Menurut dia, tak ada yang salah dengan falsafah itu, termasuk aneka “aturan main”-nya. Menurut dia, satu tungku tiga batu lah yang membuat Fakfak menjadi wilayah yang paling aman di seluruh Papua. “Kita orang tinggalkan motor tak terkunci di jalanan pun, tak akan bakal hilang,” ia mengibaratkan. 
Satu lagi, kata Mariam, “Ambon jilid II tidak bakalan terjadi di sini. Kita berbeda agama tapi satu keluarga,” kata dia. Layaknya anak dan bapak atau kakak dan adik, begitulah toleransi berkembang di Fakfak.
 


Antara Sawat dan Seruling Tambur
La Katele terlihat cemas. Ia mencari Ayuba dan Taher Waripi, penabuh rebana dan tifa dalam grup sawat-nya. Rombongan pejabat provinsi akan segera tiba, dan musiknya harus segera dimainkan. 
Kemana mereka? Ternyata dua orang yang dicarinya ada di tengah kerumunan orang menonton pesawat Wings Air yang dalam hitungan detik akan mendarat. Pesawat ini hanya tiga kali sepekan mampir di Fakfak. “Cepatlah, menonton pesawat bisa besok lagi!” La Katele berteriak, sebelum kembali di posisinya, memimpin “orkestra” sambil meniup seruling. 
Sawat adalah musik kebanggaan kami,” ujarnya, setengah jam kemudian. Delapan orang berpadu memainkan tetabuhan yang terdiri dari rebana, tifa, seruling, dan gong kecil. Tifa jelas musik tradisional Papua. Tapi rebana dan seruling? 
“Islam datang ke Fakfak membawa serta kesenian dan dua alat itu,” jawab La Katele cepat. Para dai asal Ternate pada tahun 1800-an biasa memainkan alat musik ini. 
Pria blesteran Papua-Buton ini paham betul tentang kesenian //sawat//. Turun-temurun keluarganya melestarikan tradisi tersebut. //Sawat// kata dia, biasa dipakai kakek buyutnya untuk berdakwah. Syair-syair berisi kata-kata dakwah dialunkan dengan tetabuhan yang sungguh dinamis itu. Penduduk asli yang memutuskan menjadi mualaf, juga dirayakan dengan menggelar pertunjukan sawat
Dalam sajian sawat, seruling menjadi penentu nada. Itu sebabnya, alat musik ini hanya dimainkan olehnya. Ketika nada akan berubah, seruling mendahuluinya. 
Belakangan, seruling dipakai juga oleh misionaris asal Belanda untuk menyebarkan agama di wilayah Fakfak. Seruling dipadukan dengan tambur, atau sejenis drum yang biasa dipakai dalam marching band. Orang Fakfak menyebutnya paduan musik itu sebagai seruling tambur. 
Kini, kedua jenis kesenian ini menjadi sajian musik khas Fakfak. Dalam hajatan Muslim terdengar sawat, dalam acara Kristen-Katolik berkumandang seruling tambur. Namun pada setiap perhelatan atau pesta warga, keduanya berpadu. Biasanya, setelah tarian Tumour, atau tari penyambutan, seruling tambur dimainkan, kemudian disusul sawat atau sebaliknya. Tak ada sawat tanpa seruling tambur, atau seruling tambur tanpa sawat. Harmoni terjaling, layaknya sebuah tungku dengan tiga batu.

0 komentar:

Posting Komentar