Dalam
keluarga Iba, ada tiga nama; Francisca Iba, Akhmad Iba, dan Moi Iba.
Mereka adik, kakak, dan kemenakan. Agama mereka berbeda pula. Francisca
beragama Katholik, Moi Protestan, dan Akhmad baru beberapa tahun ini
menjadi penganut Islam.
Akhmad
menemukan damai Islam setelah tanpa sengaja menguping ceramah seorang
dai Papua. Ia merenungkan kata-katanya tentang tauhid. Sejak itu ia
makin rajin mencari. Tekadnya makin bulat ketika di Manokwari ia
mendengar ada seorang pendeta yang disegani berpindah agama menjadi
Muslim. “Saya mantap memilih Islam,” ujarnya.
Bagaimana
dengan keluarganya? Tak ada pertentangan. Ia hanya memberitahu
kerabatnya bahwa dia akan menjadi Muslim. Semua mengangguk. “Kita satu
keluarga. Agama berbeda tapi kita satu keluarga,” ujarnya, menirukan
ayahnya.
Dalam
masyarakat Fakfak tempat dia tinggal, tak ada pertentangan menyangkut
keyakinan. Semua agama hidup berdampingan dalam harmoni. Mereka saling
membantu pendirian rumah ibadah agama yang berbeda. “Kita pernah
mengusir seorang dari selatan yang pernah mencoba rusuh di kampung
kami,” ujar Tibi, warga Torea, yang dijumpai saat tengah menunggu
penyambutan para qori asal Kabupaten Raja Ampat.
Menurut
Tibi, ada istilah adat yang menyatukan seluruh komponen agama di
Fakfak, yaitu ‘satu tungku tiga batu’. “Yang artinya, agama keluarga di
Fakfak ada tiga yaitu Islam, Katolik, dan Protestan. Tiga ‘batu’ ini
bersatu agar ‘tungku’ tidak timpang,” ujarnya.
Satu
tungku tiga batu, diakui Bupati Fakfak, Wahidin Puarada, adalah salah
satu modal utama membangun Fakfak. “Dalam falsafah itu ada unsur-unsur
yang disepakati, yaitu sebagai satu saudara maka harus satu hati,”
ujarnya. Bila hati sudah bersatu, kata dia, tak ada kekuatan apapun yang
mampu melawannya.
Ia
menggambarkan “persatuan hati” itu dalam perhelatan Musabaqah Tilawatil
Quran se-Provinsi Papua Barat pekan ini. Semua unsur agama terlibat
dalam kepanitiaan. “Ketika tidak diajak, mereka justru mempertanyakan
dan menawarkan dirinya untuk membantu,” tambahnya.
Bila
di beberapa wilayah Indonesia lainnya agama dipakai sebagai alat untuk
mengadu domba, tidak demikian di Fakfak. “Kami memilih agama tanpa unsur
paksaan dan kami saling menghormati pilihan masing-masing. Itu hal yang
tidak bisa ditawar sejak zaman nenek moyang kami,” ujar Wahidin.
Menurut
Askar Kadir, pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah Fakfak, tak ada
yang salah dengan falsafah itu. Ia sendiri mengaku sangat menghormati
semboyan itu. Hanya saja, katanya, aplikasinya sering kebablasan.
“Sekadar untuk hubungan antar sesama manusia tidak masalah, asal jangan
masuk ke area ubudiyah,” ujarnya.
Misalnya
saja, tak masalah seorang Muslim mendukung pembangunan rumah ibadah
agama lain atau turut bekerja bakti membersihkan kampung bersama-sama
umat agama lain. “Namun ketika ada perayaan Natal bersama di gereja,
hendaknya umat Islam tidak turut serta,” ujarnya.
Pendapat
lain disampaikan Mariam Suli, seorang warga. Menurut dia, tak ada yang
salah dengan falsafah itu, termasuk aneka “aturan main”-nya. Menurut
dia, satu tungku tiga batu lah yang membuat Fakfak menjadi wilayah yang
paling aman di seluruh Papua. “Kita orang tinggalkan motor tak terkunci
di jalanan pun, tak akan bakal hilang,” ia mengibaratkan.
Satu
lagi, kata Mariam, “Ambon jilid II tidak bakalan terjadi di sini. Kita
berbeda agama tapi satu keluarga,” kata dia. Layaknya anak dan bapak
atau kakak dan adik, begitulah toleransi berkembang di Fakfak.
Antara Sawat dan Seruling Tambur
La Katele terlihat cemas. Ia mencari Ayuba dan Taher Waripi, penabuh rebana dan tifa dalam grup sawat-nya. Rombongan pejabat provinsi akan segera tiba, dan musiknya harus segera dimainkan.
Kemana
mereka? Ternyata dua orang yang dicarinya ada di tengah kerumunan orang
menonton pesawat Wings Air yang dalam hitungan detik akan mendarat.
Pesawat ini hanya tiga kali sepekan mampir di Fakfak. “Cepatlah,
menonton pesawat bisa besok lagi!” La Katele berteriak, sebelum kembali
di posisinya, memimpin “orkestra” sambil meniup seruling.
“Sawat
adalah musik kebanggaan kami,” ujarnya, setengah jam kemudian. Delapan
orang berpadu memainkan tetabuhan yang terdiri dari rebana, tifa,
seruling, dan gong kecil. Tifa jelas musik tradisional Papua. Tapi
rebana dan seruling?
“Islam
datang ke Fakfak membawa serta kesenian dan dua alat itu,” jawab La
Katele cepat. Para dai asal Ternate pada tahun 1800-an biasa memainkan
alat musik ini.
Pria
blesteran Papua-Buton ini paham betul tentang kesenian //sawat//.
Turun-temurun keluarganya melestarikan tradisi tersebut. //Sawat// kata
dia, biasa dipakai kakek buyutnya untuk berdakwah. Syair-syair berisi
kata-kata dakwah dialunkan dengan tetabuhan yang sungguh dinamis itu.
Penduduk asli yang memutuskan menjadi mualaf, juga dirayakan dengan
menggelar pertunjukan sawat.
Dalam sajian sawat,
seruling menjadi penentu nada. Itu sebabnya, alat musik ini hanya
dimainkan olehnya. Ketika nada akan berubah, seruling mendahuluinya.
Belakangan,
seruling dipakai juga oleh misionaris asal Belanda untuk menyebarkan
agama di wilayah Fakfak. Seruling dipadukan dengan tambur, atau sejenis
drum yang biasa dipakai dalam marching band. Orang Fakfak menyebutnya paduan musik itu sebagai seruling tambur.
Kini, kedua jenis kesenian ini menjadi sajian musik khas Fakfak. Dalam hajatan Muslim terdengar sawat,
dalam acara Kristen-Katolik berkumandang seruling tambur. Namun pada
setiap perhelatan atau pesta warga, keduanya berpadu. Biasanya, setelah
tarian Tumour, atau tari penyambutan, seruling tambur dimainkan,
kemudian disusul sawat atau sebaliknya. Tak ada sawat tanpa seruling tambur, atau seruling tambur tanpa sawat. Harmoni terjaling, layaknya sebuah tungku dengan tiga batu.
0 komentar:
Posting Komentar