Geliat Islam Papua dari “Satu Tungku Tiga Batu”

Sabtu, 24 Maret 2012

Banyak sejarah menulis, masyarakat Papua adalah penganut animis atau pemuja roh. Kenyataanya, di Kabupaten Fakfak, Islam hadir telah ratusan tahun.

Beberapa hari ini, Yohan Toysuta semakin tak bisa tidur nyeyak. Bukan apa-apa, pria Fakfak ini harus bertanggungjawab 170 orang yang akan terlibat dalam paduan suara gabungan yang akan ditonton ribuan orang dari berbagai agama.
Tinggal beberapa hari, ia terus memantau tim yang terdiri dari –paduan Suara Katolik, STIE OG, dan paduan Suara Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) Kabupaten Fakfak—dalam persiapan pembukaan gelar acara akbar. Meski Paduan Suara Pesparawi pernah memenangkan juara tingkat gereja di Kabupaten Fakfak, namun pentasnya kali ini tak boleh main-main. Jangan kaget, para tim paduan suara itu tak sedang mempersiapkan untuk menyanyikan lagu-lagu gereja atau Yesus.
Tapi mereka sedang berlatih menyanyikan lagu Sholawat Nabi dalam untuk menyukseskan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke II tingkat Provinsi Papua Barat di Kabupaten Fakfak, 22 April 2008, Selasa besok.
Tim Pauan Suara MTQ ke II Kabupaten Fakfak ini, dibentuk oleh Bupati Fakfak, Dr. Wahidin Puarada.
Meski acara MTQ kali ini adalah acara kaum Muslim, namun yang merasakan pestanya adalah semua agama di Fakfak.
Simbol persaudaraan “Satu Tungku Tiga Batu” diangkat untuk meramaikan pesta MTQ ke II kali ini. “Satu Tungku Tiba Batu” (satu keluarga tiga agama), adalah simbol toleransi agama di Kabupaten Fakfak yang dijaga selama ratusan tahun secara turun temurun. Tiga agama itu adalah; Islam, Kristen dan Protestan.
Bahkan di beberapa tempat beberapa sepanduk bertulisakan ucapan datang dari berbagai kalangan. Diantaranya datang dari Perkumpulan Tionghoa Fakfak. Bunyinya, ”Dengan Semangat MTQ Kita Tingkatkan Solidaritas Umat Beragama.”
Fredi Thie, seorang warga Fakfak beragama Katolik, mengatakan kepada www.hidayatullah.com, semboyan itu sangat dijunjung oleh masyarakat Fakfak. “Itu sudah ada dari dulunya,” katanya tak mengetahui sejak kapan istilah itu digunakan dan akhirnya menjadi budaya dan simbol toleransi.
Karenanya, meski acara MTQ ini adalah acara kaum Muslim, hampir 20 persen panitian penyelenggara MTQ adalah warga Fakfak beragama Kristen dan Protestan.
Jangan bertanya bagaimana bentuk kerukunan warga Muslim dan Non-Muslim di Fakfak. Sebab, toleransi ini banyak diakui masyarakat berjalan lama. Kabarnya, bahkan telah menjadi sebuah tradisi.
“Budaya ini sudah menjadi jiwa dari masyarakat Fakfak,” ujar Haji MZ Wasaraka, salah seorang tokoh Muslim setempat.
“Karena itu, konflik berbau sentimen agama, tak terjadi di tempat kami,” tambah Wasaraka.
Kabupaten Fakfak, Papua Barat, mempunyai 9 kecamatan. 60% penduduknya adalah Muslim. Sisanya adalah Kristen dan Protestan. Kabupaten yang posisinya berada di pinggir laut dan penduduknya bervariatif ini adalah ciri keramahan masyarakat Papua.
MTQ ke-II direncanakan akan digelar di Stadion 16 November dan diperkirakan akan dibanjiri lebih dari 3000 orang. Tak saja yang Muslim, mereka yang berbeda agama pun turut hadir.
Acara resminya akan dibuka oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Muhammad Nuh. Beberapa pejabat yang juga ikut hadir di antaranya, Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Dirjen Bimas Islam Depag RI Nazaruddin Umar, serta duta besar Mesir dan Palestina.
Ada sembilan perwakilan daerah yang ikut menjadi peserta dalam MTQ ini. Mereka mewakili setiap kabupaten yang ada di Papua Barat, yaitu Fakfak, Manokwari, Sorong, Kota Sorong, Sorong Selatan, Kaimana, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, dan Raja Ampat.
Geliat dari “Kota Pala”
Hajat besar kaum Muslim Kabupaten yang dikenal dengan hasil buah pala ini memang tak semata-mata hanya MTQ. Ada hajat besar lain, menyangkut sejarah masuknya Islam di tempat itu.
Karenanya, selain penyelenggaraan MTQ ke II tingkat Provinsi Papua barat yang dibuka Menteri Agama, juga dibuka acara seminar ’masuknya Islam di tanah Papua’, khususnya di Kabupaten Fakfak.
Selain menghadirkan tokoh Muslim setempat, juga menghadirkan tokoh-tokoh berkompeten lain.
“Tetapi para tokoh agama Islam baik yang ada di tanah air hingga tokoh Islam yang datang dari luar tanah air,” tandas Kepala Dinas Kimbangwil Fakfak Drs.HM Tahir Mustafa, M.Si, yang juga selaku Ketua LPTQ Kabupaten Fakfak.
Sebagaimana diketahui, selama ini, banyak orang di luar Papua mengira, di propinsi yang dikenal sebagai Daerah yang kaya akan sumber daya alam ini adalah identik dengan Kristen.
Namun faktanya, di kabupaten Fakfak sendiri yang memiliki luas wilayah 38.474 km2 dan berpenduduk sebanyak 50.584 jiwa (2000), justru sangat kental dengan Islam.
M. Syahban Garamatan, keturunan Raja Patip
M. Syahban Garamatan, keturunan Raja Patipi, salah anak keturunan kerajaan yang pertama kali yang memeluk Islam di kabupaten itu mengatakan, kedatangan Islam di Fakfak sudah sangat lama.
Banyak fakta yang bisa dijadikan saksi. Diantaranya adalah bukti otentik berupa keberadaan beberapa mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab tua. Saat ini bukti otentik itu dijaga dengan baik oleh Ahmad Iba, salah satu pewaris Raja Patipi.
Mushaf Al-Quran yang konon dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari Kerajaan Samudera Pasai itu mendarat di daerah kekuasaan Kerajaan Mes, yang berada di daerah Kokas, sekitar 50 Km dari pusat Kab Fakfak. Di tempat ini ternyata sudah banyak penduduk yang masuk Islam. Bahkan dalam kerajaan itu pun terdapat masjid.
Selain mushaf Al-Quran dan beberapa kitab-kitab tua, di Kabupaten itu juga berdiri pusat ibadah umat Islam. Di Kampung Pattimburak, sekitar 10 km sebelum Kokas, berdiri sebuah masjid tua dengan arsitektur Portugis. Masjid Pattimburak, demikian kaum Muslim menyebut, diperkirakan dibangun sekitar tahun 1870 M. Masjid beratap dua tingkat berukuran sekitar 5 x 8 m persegi dan menyerupai bangunan gereja adalah saksi kehadiran agama Islam di Kabupaten itu.
Karena nilai historisnya itulah, maka panita MTQ menjadikan Masjid Pattimburak sebaga logo resmi MTQ.
Warasaraka mengakui, ada beberapa kendala dalam berdakwah di bumi Fakfak. Diantaranya ia menyebutkan, sebagian besar kaum Muslim Fakfak belum bisa membedakan mana yang bernilai ibadah dan sosial.
“Sehingga, bagi sebagian umat Islam di Fakfak masih mensampur-adukkan ibadah,” katanya. Hal yang senada juga disampaikan oleh Ustadz Muhammad Sanusi, dai asal Subang, Jawa Barat yang bertugas di Fakfak.
“Umat Islam seharusnya tahu batasan yang tak boleh dilakukan, ,” terangnya.
Warasaraka dan Sanusi yakin, jika tak ada pendidikan dan dai yang memadai, kultur dan toleransi yang bagus yang selama ini dipegang teguh itu akan berimplikasi ke masalah-masalah ibadah di suatu hari.
Sanusi menegaskan, inilah yang seharusnya menjadi tugas berat para dai Fakfak di masa depan untuk mengkomunikasikan kepada umat. Sanusi khawatir, jika tak ada penjelasan melalui pendidikan dan dakwah, kekhawatiran nya akan terjadi.
“Ini memang menjadi tanggung jawab para dai untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam,” tekadnya.
“Kami memerlukan dai lebih banyak dai di sini untuk membina agama warga Muslim, “ ujar Sanusi berharap. Meski demikian, Sanusi merasakan, geliat Islam, nampak akan terus berkembang dan bersinar di Kota Pala.

0 komentar:

Posting Komentar